Catatan Menyambut Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2025
BANGKIT DARI MIMPI BURUK
Oleh: Urip Triyono, S.S., M.M.Pd.
Pendiri Yayasan Pendidikan Trimulya Widya Pratama Brebes
Pengantar
Apapun keadaannya, dinamika bangsa Indonesia harus terus berjalan menuju tujuan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke-4. Disebutkan bahwa bangsa ini akan menuju pada cita-cita besar yaitu melindungi segenap bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Cita-cita ini sangat sakral dan menjadi idealisme yang harus diwujudkan oleh siapa pun yang menjadi pemegang estafet kepemimpinan nasional, mestinya.
Gelap
Namun apa daya, semua harapan dan Impian bukan semakin mendekati kenyataan, melainkan semakin menjauh dari realitas yang diharapkan. Peri kehidupan bangsa ini semakin tidak jelas ketika pengelola negara tidak mengindahkan rambu-rambu konstitusi, mereka justru gemar “mengakali” sedemikian rupa supaya dapat mengikuti nafsu berkuasa mereka. Kekuasaan menjadi objek yang diperebutkan oleh segelintir kelompok , kelompok yang tidak pernah memikirkan nasib rakyat melainkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Pasca kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, pengelolaan negara oleh pemerintahan terpilih tampaknya hanya sebagai pemanis di bibir (lip service), tidak ada yang benar-benar tulus, semua berorientasi pada pelanggengan kekuasaan belaka. Bahkan pada dua dekade terakhir (2014-2019, 2019-2024) kekuasaan semakin liar dengan diobralnya tanah air ke bangsa lain secara perlahan-lahan tapi pasti kepada pihak asing (merujuk pada kekuatan atau entitas dari luar negeri, seperti investor, lembaga keuangan internasional, atau pengaruh dari negara lain) dan aseng (investasi atau pengaruh yang berasal dari Tiongkok). Kekayaan negera hanya dimiliki oleh segelintir orang yang mau berkongkalingkong antara penguasa dan pengusaha untuk menjual harta dan kekayaan negara.
Dalam catatan penulis, ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia sangat signifikan, dengan sekitar 68% lahan dikuasai oleh 1% korporasi dan badan usaha besar. Ini meninggalkan 99% masyarakat yang berjuang untuk mendapatkan akses ke lahan, terutama petani yang rata-rata hanya memiliki lahan kecil, kurang dari 0,5 hektar. Belum lagi penguasaan Sumber Daya Alam yang sangat tidak memenuhi unsur keadilan bagi rakyat, karena kekayaan bumi dan segala yang ada di dalamnya ternyata dikuasai oleh asing dan aseng. Tengoklah PT Freeport yang dikuasai oleh Amerika hingga sekarang belum ada tanda-tanda diakuisisi, padahal jumlah emas yang ditambang dan dibawa ke negeri Paman Sam ini mencapai ribuan ton bahkan mungkin tidak terhitung nilainya, meninggalkan kerusakan alam yang sangat mengerikan. Bila Freeport bisa dianeksasi, maka dapat untuk menghidupi jutaan anak bangsa yang saat ini nasibnya memilukan. Ini baru satu perusahaan, bagaimana bila bisa menasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang lain. Namun, kelihatannya tidak ada niatan yang sungguh-sungguh dari pengelola negeri ini untuk dapat mengembalikan sumber kekayaan ala mini ke negerinya sendiri. Bila negeri ini dikelola oleh pengelola yang waras, setidaknya pembagian keuntungan tidak seperti sekarang yang hanya diberikan fee saja, sebuah kompensasi yang sangat tidak adil dan tidak berperikemanusiaan karena kekayaan alam ini ternyata tidak memberikan efek signifikan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Belum lagi penguasaan tanah oleh pengusaha (China) terhadap penguasaan tanah di area pantai utara dari Jawa Barat, Jakarta, hingga Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang ternyata telah dikavling-kavling oleh pengusaha yang bersekongkol dengan penguasa, telah menimbulkan kekhawatiran akan kedaulatan negara. Keputusan-keputusan vital yang berkaitan dengan nasib dan masa depan bangsa, serta keberadaan bangsa ke depan telah dipengaruhi oleh para cukong yang berselingkuh dengan para pejabat untuk menjual bumi, air, dan kekayaan alam lainnya. Perilaku tercela ini menimbulkan penurunan tingkat kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan kedaulatan atas tanah, bumi, air, dan segala kekayaan di dalamnya. Pemerintahan yang jujur dan bermartabat menjadi dalam memperjuangkan kemakmuran rakyat tampak semakin langka hanya slogan belaka, artinya semua kekayaan alam dan sumber kekayaan alam yang mestinya digunakan oleh pengelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kini beralih kepada kemakmuran segelintir orang, yaitu mereka yang berkongkalingkong menjual harta dan kekayaan negara. Sementara kemiskinan di negeri ini masih tinggi, pada tahun 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin hingga 24,06 juta orang pada September 2024. Bank Dunia juga mencatat bahwa lebih dari 60,3% penduduk Indonesia tergolong miskin.
Perilaku korup antara pejabat dan para penyuap yaitu para pengusaha yang hanya mencari keuntungan pribadi, telah menjadikan nasib dan masa depan bangsa ini semakin tidak jelas. Para pejabat bekerja bukan untuk memikul amanat penderitaan rakyat, melainkan untuk mencari selamat dan mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri dan kaumnya belaka, masalah bangsa tidak menjadi amanat penting yang harus dijalankan. Maka, dapat kita lihat betapa mereka para pejabat dan para oligarki memainkan semua perangkat kenegaraan untuk mendukung aktivitas dirinya dalam menguasai negara +62 ini.
Permisif
Hancurnya negara, atau apa pun Namanya, sangat ditentukan oleh eksistensi moral para warganya. Semakin eksistensi moral dijunjung tinggi oleh warga negaranya, maka akan tegaklah negara tersebut, dan semakin rendah moralnya, maka alamat tidak akan lama lagi berakhir nasib keberadaan sebuah negara di muka bumi ini. Belajar dari negara-negara besar yang tumbang pada abad ke-20 seperti Uni Soviet, Yugoslavia, dan lain-ainnya kita mestinya dapat mengambil pelajaran, bahwa moralitas akan menentukan nasib suatu bangsa. Uni Soviet pecah menjadi 15 negara merdeka pada tahun 1991. Negara-negara tersebut adalah Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Latvia, Lithuania, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan. Yugoslavia terpecah menjadi enam negara, yaitu Slovenia, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, Makedonia, Montenegro, dan Serbia. Selain itu, Kosovo juga mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia, meskipun statusnya masih menjadi perdebatan.
Belajar dari keruntuhan suatu negara, mestinya kita sekarang saatnya mengambil langkah strategis sebelum kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi kenyataan, akibat moralitas yang tidak dihargai. Ketahanan nasional sedang di ujung tanduk, karena sesungguhnya negeri ini tidak berjalan dalam rel yang disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia, melainkan berjalan oleh petunjuk dan arahan dari segelintir orang berduit yang berkamuflase dalam menguasai negara +62 secara halus. Mereka tidak segan-segan menyuap para pejabat agar dapat disetir sesuai keinginan mereka, perlahan tapi pasti para pejabat pun dininabobokan dengan fasilitas yang diberikan para oligarki, sehingga tidak ingatlah lagi sumpah jabatan di atas al Qur’an, Injil, Weda, Tripitaka, atau kitab suci lain yang dahulu pernah dilakukannya ketika diangkat dan disumpah menjadi pejabat.
Kemerosotan moral dan menipisnya akhlak menjadi penyebab utama jatuhnya sebuah bangsa. Sifat serba boleh (permisif) menjadi salah satu unsur utama runtuhnya sendi-sendi kebangsaan, orang tidak lagi merasa jengah ataupun malu melakukan pelanggaran dan pengrusakan, baik pelanggaran dan pelanggaran hukum positif, hukum adat, maupun konvensi yang telah disepakati dalam tradisi Masyarakat. Pelanggaran moral, etika, dan hukum telah dipoles sedemikian rupa menjadi kejadian yang lumrah, sehingga kaburlah batas-batas aturan dalam bermasyarakat. Pelanggar hukum dapat menyewa pengacara yang handal untuk mengaburkan kesalahannya sehingga yang salah dibuat menjadi samar dan bila perlu dikatakan tidak bersalah, tentunya dengan menyuap aparat hukumnya. Carut-marut bidang hukum menjadi salah satu yang terparah sepanjang lebih dari dua dekade sejak pergantian kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) ke Joko Widodo. Penguasaan aset-aset nasional semakin sporadis dan mengerikan, karena melemahnya sistem ketahanan negara karena menurunnya sikap nasionalisme, patriotisme, dan lunturnya nilai-nilai kepahlawanan para para penyelenggara negara.
Akhlak
Moralitas atau akhlak Kembali dipertanyakan Ketika kita sebagai anak bangsa melihat biduk kapal yang nyaris tenggelam akibat pengelola negara yang ugal-ugalan. Mereka para pengelola negara merasa tidak ada yang salah karena dicekoki oleh berbagai fasilitas dan kenikmatan yang melenakannya, melupakan tanggung jawab dan amanat yang dipikulnya sebagai nahkoda kapal bangsa Indonesia dalam berlayar mengarungi lautan menuju pulau tujuan, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan sosial.
Satu kunci yang dilupakan adalah masalah akhlak. Akhlak Sebagian pengelola negeri yang beragama Islam sedang mengalami krisis akut, tawaran materi, jabatan, dan kesenangan telah menyihir sebagaian besar pengelola negara ini yang mengaku beragama Islam, mereka kini menjadi orang munafik dan fasik yang sangat berbahaya bila diberikan kepercayaan, karena mereka pasti akan berkhianat. Cepat atau lambat negara ini akan di-“jual” kepada pihak Asing dan Aseng yang sampai saat ini sedang rajin mengintai kelemahan pengelolaan negara. Bila pengelola negara terlena dan dungu, maka alamat akan hilanglah negeri +62 dalam waktu yang tidak lama sebagaimana negara-negara lain yang telah mengalami perpecahan.
Sekarang Kembali kepada kita sebagai anak bangsa yang waras. Akankah kehancuran bangsa yang ada di depan mata kita, kita biarkan? Sungguh sangat naif bila kita sudah tahu bahwa bangsa ini akan jatuh ke jurang tetapi kita hanya diam dan melongo saja? Sebagai anak bangsa yang waras tentu kita akan menjawab “tidak!”, kita harus selamatkan bidak kapal negeri ini dari keteledoran nahkoda yang tanpa ilmu, tanpa akhlak, dan tanpa kredibilitas moral yang terpercaya. Mari kita bangkit, mulai dari diri kita, dari hal yang kecil-kecil, mulailah sekarang juga.
Penutup
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 2025 merupakan hal yang sangat penting untuk difahami sebagai media introspeksi dalam hal kebangsaan. Dua momentum dalam bulan ini menjadi dasar bagi kita untuk bangkit dari tidur dan keterlenaan yang berkepanjangan, yaitu tanggal 2 Mei sebagai peringatan Hari Pendidikan, dan tanggal 20 Meri sebagai peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Bila disambungkan, maka kebangkitan nasional tidak akan pernah tercapai tanpa adanya pendidikan yang benar, pendidikan yang benar hanya akan tercapai bila akhlaknya pelaku dan objek pembelajarannya benar, dan akhlak yang benar hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kesadaran bahwa dirinya dihadirkan di muka bumi sebagai khalifah, sebagai pemakmur bumi, bukan sebagai monster dan penguasa yang zalim kepada alam, rakyat dan bangsanya sendiri. Mari bangkit dari mimpi buruk kehancuran bangsa dan negara tercinta, mari menjadi manusia yang waras.
***
Dukuhmaja, 20 Mei 2025.
