PKBM TRIMULYA PRATAMA

Situs Resmi PKBM Trimulya Pratama Kabupaten Brebes

  • Home
  • Profil
    • Sambutan
    • Profil Sekolah
  • Visi dan Misi
  • Program
  • Kelas Online
    • Kelas Online Paket C
    • Kelas Online Paket B
  • Perpustakaan
  • Infomasi
    • Artikel
    • Berita
    • Opini
    • Prestasi
    • Kegiatan
  • Foto
  • Video
Reading: PENDIDIKAN CALON MANUSIA (MONSTER)
Share
Font ResizerAa

PKBM TRIMULYA PRATAMA

Situs Resmi PKBM Trimulya Pratama Kabupaten Brebes

Font ResizerAa
  • Home
  • Profil
  • Visi dan Misi
  • Program
  • Kelas Online
  • Perpustakaan
  • Infomasi
  • Foto
  • Video
Search
  • Home
  • Profil
    • Sambutan
    • Profil Sekolah
  • Visi dan Misi
  • Program
  • Kelas Online
    • Kelas Online Paket C
    • Kelas Online Paket B
  • Perpustakaan
  • Infomasi
    • Artikel
    • Berita
    • Opini
    • Prestasi
    • Kegiatan
  • Foto
  • Video
PKBM TRIMULYA PRATAMA > Artikel > PENDIDIKAN CALON MANUSIA (MONSTER)
Artikel

PENDIDIKAN CALON MANUSIA (MONSTER)

PKBM TRIMULYA PRATAMA
Last updated: Mei 7, 2025 2:19 am
By
PKBM TRIMULYA PRATAMA
Share
8 Min Read
SHARE

Catatan Atas  Meninggalnya Achmad Budi Cahyanto , S.Pd. (Guru GTT) oleh Muridnya Sendiri.

PENDIDIKAN CALON MANUSIA (MONSTER)

Oleh: Urip Triyono, SS, MM.Pd.

Pendidik, tinggal di Dukuhmaja, Kecamatan Songgom, Brebes.

Pengantar

            Satu lagi catatan kelam dalam dunia pendidikan kita, kali ini datang dari Sampang Madura, Jawa Timur, tepatya di SMA Negeri 1 Torjun. Pembunuhan seorang guru oleh muridnya sendiri, dilakukan di sekolahan, tempat keduanya saling berinteraksi dalam kerangka take and give keilmuan. Pendidikan formal yang selama ini diharap-harap dapat menjadi sarana memanusiakan manusia, pendidikan yang digadang-gandang dapat mengantarkan manusia mencapai kesuksesan pada masa depan, namun apa lacur, nyatanya sekolah menjadi tempat yang tidak nyaman bagi manusia dalam beraktivitas atas nama pendidikan, baik siswa maupun gurunya.

Refleksi

Hari Kamis, 1 Februari 2018, menjadi hari terakhir seorang Guru Tidak Tetap (GTT) bernama Achmad Budi Cahyanto dalam mendidik siswanya di SMA Negeri 1 Torjun, Sampang Madura, karena ditangan salah satu muridnya (MHI), beliau dianiaya dan berakhir tragis hingga menewaskan dirinya akibat batang otaknya cidera parah terkena hantaman benda tumpul yang dilakukan oleh anak didiknya tersebut. Kekerasan di sekolah ini semakin menguatkan dugaan bahwa tempat pembelajaran  (sekolah) menjadi tempat yang berbahaya dan bahkan mematikan bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya, baik bagi anak-anak peserta didik maupun gurunya. Kasus penganiayaan yang berakibat kematian seperti ini bukan yang pertama kali terjadi, melainkan sudah yang kesekian kalinya, baik melibatkan sesama anak maupun anak dengan guru atau tenaga kependidikan. Kualitasnya pun semakin meningkat dari sekedar saling ledek, membuli, mengeroyok, hingga penikaman dan kekekerasan lain yang berujung pada kematian. Sungguh memiriskan hati karena hal ini terjadi di dalam lingkup dunia pendidikan dan pada jam pelajaran sekolah berlangsung.

Bnyaknya data dan fakta di lapangan mengenai marak terjadinya tindak kekerasan dan penganiayaan di sekolah, secara langsung maupun tidak akan menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan dunia pendidikan kita? Di manakah letak kekurangan dan kesalahannya sehingga dalam prosesnya justru menghasilkan tindakan anarkhis yang menjauh dari tujuan pendidikan itu sendiri.  Apakah keliru sistem dan kurikulumnya, regulasinya, perangkat pendukungnya, ataukah pada pelakunya di lapangan? Siapa pun orangnya yang terlibat dalam dunia pendidikan (stakeholder), baik guru, sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah harus memahami mengenai hal ini. Bahwa saat ini terjadi pembusukan dalam proses pendidikan, pembiasan arah, dan kehilangan orientasi pada pemberi dan penerima manfaat dunia pendidikan. Perilaku “diam”-nya seluruh stakeholder dunia pendidikan memberikan kontribusi bagi kehancuran dunia pendidikan, menghasilkan produk pendidikan yang semakin menjauh dari tujuan yang telah dicanangkan dalam Undang-undang dan Undang-undang Dasar. Ranah pembangunan jiwa, mentalitas, moralitas, dan ahlak kurang atau bahkan tidak mendapatkan porsi yang semestinya, bahkan cenderung dipinggirkan. Pembangunan jalur pendidikan (formal) cenderung lebih menekankan pada penampilan fisik karena hasilnya lebih cepat dapat disaksikan daripada pembangunan mental yang hasilnya baru dapat disaksikan puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.

Monster

Diakui atau tidak, terdapat satu kekeliruan  mendasar dalam sistem pendidikan kita.  Pada tataran konsep, tidak ada yang memungkiri, Undang-undang Dasar dan Undang-undang serta perangkat pendukung tentang pendidikan sudah hebat dan semua pihak angkat jempol, bahkan dapat dikatakan “nyaris sempurna”. Namun pada tataran implikasi atau penerapannya sangat jauh dari yang seharusnya. Antara konsep dan penerapan tidak nyambung, bahkan tampak berjalan sendiri-sendiri mengikuti arah angin berlalu. Bidang pendidikan tidak dikelola secara baik dan profesional, ranah pendidikan hanya dijadikan objek dan proyek belaka bagi para pejabat dan kroninya dengan meninggalkan substansi pendidikan yang menjunjung tinggi ahlak dan moralitas. Acakadut-nya implementasi pendidikan di negeri ini ditengarai disebabkan oleh berbagai hal antara lain: orientasi hidup yang materialistis (mindset), rendahnya kualitas guru dan tenaga kependidikan, kompensasi yang jauh dari ideal terutama bagi GTT/PTT, kurikulum yang tekesan boros, dan mindset pejabat pengelola pendidikan yang lebih berorientasi materi. Faktor-faktor tersebut telah secara mendasar mempengaruhi pelaksanaan pendidikan di lapangan, sehingga pelaksanaan proses pendidikan menjauh dari “roh” pendidikan yang diidam-idamkan, cenderung pragmatis dan bisnis, dan tidak menyentuh ranah jiwa dan sumber daya rohani.

Kesalahan berikutnya adalah jalur pendidikan (formal) berjalan sendirian dalam mendidik peserta pembelajaran, hampir semua orang tua dan siapa pun yang terlibat dalam pendidikan anak-anaknya melepaskan begitu saja setelah di sekolahkan di sekolah formal. Sebagian besar beranggapan bahwa sekolah formal adalah tempat segala-galanya dalam mendidik anak-anaknya, lepas sudah tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak-anaknya ketika sudah dimasukkan ke sekolah. Pola pikir seperti ini bukan hanya keliru, melainkan salah total alias fatal dalam mendidik anak-anak. Pahami! Guru bukan tukang sulap, yang dengan sekejap dapat menyulap anak-anak yang bodoh menjadi pintar, anak-anak yang nakal menjadi penurut, anak-anak yang badung menjadi patuh, bukan. Objek dan subjek pembelajaran bukanlah benda mati yang tiada berasa, kosong dari cita rasa, yang dapat diperlakukan semau gue, dan pasti nurut seperti tukang sulap memainkan peralatan sulapnya. Guru mengajar, mendidik, dan membimbing anak manusia yang mempunyai cita, rasa, dan karsa yang dalam mengelolanya memerlukan kesinambungan dan sinergitas berbagai fihak. Bagaimana mungkin dari 24 jam sehari semalam, anak-anak di sekolah dapat berubah mindset-nya hanya dengan jatah waktu hanya 2-5 jam? Sementara 19-22 jam anak-anak berada dalam asuhan keluarga dan masyarakat? Apakah fungsinya keluarga dan masyarakat dalam pendidikan anak-anaknya? Belum lagi dalam mendidik anak-anak di sekolah para guru direcoki dengan propaganda HAM yang membuat para guru lebih memilih “tiarap” daripada mencari masalah dengan peserta didik dan wali murid. Posisi guru dalam kesulitan tak berujung pangkal, terpasung jiwa pendidiknya.

Akibat pendidikan yang tidak dibarengi sentuhan jiwa dan kerohanian, muncullah pribadi peserta didik yang impulsif, meledak-ledak, dan ganas. Mentalitas inilah yang mengarah pada pribadi yang merusak dan antitoleransi bahkan cenderung menerabas norma-norma, kepribadian monster. Tidak penting lagi aturan-aturan, norma-norma, hukum, bahkan agama, yang penting urusan dan kepentingan diri pribadinya lancar dan terpenuhi. Apa itu rasa hormat dan sopan santun? Bulshit itu semua! Bila perlu dalam mencapai cita-citanya, pihak-pihak yang menghalanginya ditumpas habis, menjadi sosok machiavellis sempurna yang gemar menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Termasuk bila ada guru yang mengganggu keasyikan dirinya sekalipun, sikat!

Penutup                                                                            

Pendidikan bukanlah sekedar transfer ilmu dan pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Lebih dari itu adalah proses penyadaran dengan mendudukkan anak-anak sebagai peserta didik agar faham dan sadar akan posisinya sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang Maha Pencipta, bukan manusia yang haram jadah  dan muncul tanpa sebab. Selalu ada sebab-musabab yang melatarbelakangi terjadinya segala sesuatu, termasuk terbunuhnya seorang guru oleh muridnya sendiri. Tentunya, pendidikan bukan untuk melahirkan monster-monster ganas yang didanai negara bukan? Semoga kejadian ini semakin menyadarkan bahwa ada yang tidak beres dengan dunia pendidikan kita.

***

*) Penulis adalah seorang pendidik, tinggal di Dukuhmaja, Kecamatan Songgom Brebes. Guru Mapel Bahasa Jawa di SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 3 Songgom, Brebes. Direktur LKP  Trimulya Dukuhmaja, Kecamatan Songgom,  Brebes. Pegiat literasi dan komit dalam dunia pendidikan. Dapat dihubungi pada No. HP. 087830000041.

Share This Article
Facebook Whatsapp Whatsapp Telegram Threads Copy Link

Recent Posts

  • (tanpa judul)
  • BANGKIT DARI MIMPI BURUK
  • PENDIDIKAN CALON MANUSIA (MONSTER)
  • MEMBUMIKAN GERMAS DALAM KELUARGA
  • KARTINI PADA ERA KEKINIAN

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.

Anda Mungkin Juga Menyukainya

ArtikelOpini

BANGKIT DARI MIMPI BURUK

5 bulan ago
Artikel

MEMBUMIKAN GERMAS DALAM KELUARGA

6 bulan ago
Artikel

KARTINI PADA ERA KEKINIAN

6 bulan ago
Artikel

BERKOMPROMI DENGAN BANCANA

6 bulan ago
Copyright © PKBM TRIMULYA PRATAMA. All Rights Reserved.